Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti dibuat kagum sekaligus miris dengan analisa dari alumni ITB soal penyebab banjir bandang di Sumatera.
Susi terkesima dengan penjelasan rinci dari alumni ITB bidang Matematika bernama Alif yang menghitung penyebab banjir di Sumatera selama beberapa hari ke belakang.
Alif sampai mengurai perbedaan jika kawasan Sumatera masih dipenuhi hutan dengan kondisi terkini yang dipenuhi sawit.
Hal itulah yang disorot Alif sebagai penyebab banjir besar di Sumatera.
Bagaimana penjelasan Alif?
Seperti diketahui, banjir yang terjadi di Sumatera sejak akhir November 2025 adalah bencana besar yang memakan korban jiwa.
Hingga kini ada 700 lebih orang dilaporkan meninggal dunia akibat banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera.
Lalu ada 650 orang dilaporkan masih hilang.
Miris dengan bencana banjir dan longsor di Sumatera, Alif pun mengurai analisa berdasarkan bidang matematika yang ia geluti terkait penyebab banjir di Sumatera.
Pertama,Alif membuka data dari artikel dan data resmi soal luas hutan yang hilang di Sumatera selama puluhan tahun ke belakang.
Dari data yang dihimpun Alif, ternyata hutan di wilayah Sumatera yang hilang mencapai 261 hektar.
“Kenapa sih banjir di Sumatera ini parah banget dari sebelumnya? kalau kita lihat dari data di sini tahun 2024 itu kita kehilangan sekitar 261 hektar (hutan). Ini kalau kita bandingin seperti lapangan sepakbola, ada sekitar 365 lapangan sepakbola,” ungkap Alif.
Padahal sebelumnya hutan di Sumatera dikenal asri dengan luas mencapai 15 juta hektar.
Tapi belakangan hutan di Sumatera telah berganti menjadi perkebunan sawit.
“Ini baru di tahun 2024 aja. Kalau kita bandingin dari 1985, kita dulunya punya 15 juta hektar (hutan), sekarang 40 tahun kemudian (tahun 2025) itu cuma tinggal 5 juta hektar, artinya berkurang 66 persen selama 40 tahun. Dan hutan-hutan ini rata-rata diganti jadi perkebunan sawit,” pungkas Alif.
Perihal alih fungsi hutan menjadi sawit, Alif menjelaskan secara rinci.
Bahwa hutan dengan sawit adalah dua hal yang berbeda jauh.
Sebab kemampuan hutan dengan sawit dalam menyerap air tanah tidak sama.
“Ada yang mengatakan sawit juga sama-sama pohon. Sebenarnya itu keliru ya. Kenapa? kalau kita lihat koefisien limpahannya atau run off coefficient hutan itu 0,05, sedangkan sawit 0,6. Artinya tanah (di hutan) bisa menyerap 95 persen air. Sedangkan kalau perkebunan sawit bisanya menyerap 40 persen air,” ujar Alif.
Melihat perubahan besar-besaran terkait hutan yang banyak hilang di Sumatera, Alif pun mengaitkannya dengan curah hujan.
Dari data BMKG, curah hujan di Sumatera memang tinggi di tanggal 23 November hingga beberapa hari setelahnya.
Dari hitung-hitungan Alif, hujan di Sumatera yang biasanya turun untuk waktu satu bulan, tapi di tanggal 23 November 2025 itu justru hujannya turun sangat lebat dalam waktu seharian.
“Kita lihat di tanggal 23-24 November itu curah hujannya sangat besar. Kalau kita bandingin biasanya hujan 150 mm perbulan. Nah waktu itu (tanggal 23) cuma sehari itu (turun hujan deras setara dengan hujan sebulan di Sumatera Barat). Bahkan di Aceh sampai 300 mm perhari, artinya hujan buat dua bulan turun dalam waktu satu hari,” kata Alif.https://sosmed.tribunnews.com/socmed.php?instagram=https://www.instagram.com/p/DRn2xHeD2zp/&capck=no
Setelah mengetahui curah hujan di Sumatera, Alif pun mengurai rumus mencari volume air guna mengetahui jumlah air yang tidak terserap tanah sehingga menimbulkan banjir.
Alif menggunakan rumus fisika untuk volume.
V = C (koefisien limpahan) x P (curah hujan) x A (luas wilayah)
“Artinya kalau kita hitung luas sungai batang toru ini 3.300 km2. Kita bisa kalikan (untuk menghitung volume air yang tumpah ke daratan di Sumatera alias banjir), air yang enggak keserap,” imbuh Alif.
Dalam hitung-hitungannya, Alif membandingkan jika wilayah Sumatera masih dipenuhi hutan dengan kondisi terkininya yakni dipenuhi sawit.
“Kalau ada hutan biasa, air yang enggak keserap itu 130 juta meter kubik. Sedangkan kalau pakai sawit, air yang enggak keserapnya lebih banyak 1500 juta meter kubik. Artinya selisihnya itu sampai 1,37 miliar meter kubik, ini sama kayak 548 ribu kolam renang olimpiade yang gak keserap oleh tanah,” ujar Alif.
“Kalau kita kita hitung debitnya menggunakan rumus Q=V/T, kalau wilayahnya masih hutan semua, yang enggak keserap itu cuma 1.504 meter kubik per detik. Tapi kalau (wilayahnya dipenuh) sawit, yang enggak keserap itu 17.361 meter kubik per detik. Artinya 11,5 kali,” sambungnya.
Dari hitung-hitungan yang dianalisanya, Alif menarik kesimpulan.
Bahwa gara-gara wilayah Sumatera berubah menjadi perkebunan sawit, jadinya air yang terserap di tanah berkurang drastis.
Hal itu lantas memicu banjir bandang di wilayah Sumatera.
“Kalau kita lihat dari sungai besar di Indonesia, paling gede itu rata-rata debitnya 6000, sedangkan ini (debit air karena wilayahnya jadi dipenuhi sawit mencapai) 17 ribu. Makanyaini sudah melebihi batas sungai besar. Makanya seberpengaruh itu perbedaan hutan dan perkebunan sawit dalam mencegah banjir,” pungkas Alif.https://sosmed.tribunnews.com/socmed.php?twitter=https://twitter.com/susipudjiastuti/status/1995652132100603922
Melihat analisa dan hitung-hitungan rinci Alif soal penyebab banjir di Sumatera, Susi Pudjiastuti dibuat kagum.
Susi mengaku sebelumnya ia tidak tahu jelas soal hubungan antara hutan dan perkebunan sawit dengan banjir.
“Saya yg bodoh tidak berpendidikan jadi dong dan mengerti setelah dapat share dr kawan : hitungan Alumni ITB jur matematik menganalisa kenapa terjadi banjir di Sumatra,” akui Susi Pudjiastuti.













