Aroma khas udang fermentasi menyengat lembut dari sebuah rumah sederhana di pesisir Kota Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung. Di teras rumah itu, tumpukan terasi cokelat kemerahan mulai dibungkus. Terasi tersebut menjadi saksi kearifan tradisional yang kini diuji oleh isu dugaan pewarna tekstil di pasar tradisional.
Isu temuan terasi yang diduga mengandung pewarna tekstil di pasar tradisional membuat pengrajin terasi tradisional di Kota Toboali kian resah. Mereka khawatir, kepercayaan masyarakat terhadap produk lokal ikut tergerus meski selama ini diproduksi secara alami tanpa bahan kimia. Padahal pengrajin tradisional berupaya menjaga reputasi produk yang selama ini diolah secara alami.
Seorang pengrajin terasi, Rusyaden (63) mengaku terkejut sekaligus khawatir atas temuan Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Pangkalpinang. Ia menilai, isu terasi berbahaya berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap produk lokal yang selama ini dikenal berkualitas. Seperti diketahui BPOM telah melakukan uji 20 sampel yang diuji, ditemukan satu sampel terasi mengandung pewarna merah tekstil rhodamin B yang tidak boleh digunakan dalam pangan. Selain itu, ditemukan satu sampel pengembang yang mengandung boraks Tjap Djago.
“Alhamdulillah, terasi yang saya buat ini murni dari hasil tangkapan sendiri. Semua bahannya alami, tidak ada campuran apa pun, hanya garam makanan,” kata Rusyaden kepada Bangkapos.com, Kamis (27/11/2025).
Rusyaden meyakini jika benar ditemukan terasi mengandung pewarna tekstil, maka besar kemungkinan produk tersebut bukan berasal dari pengrajin asli Toboali. Menurutnya, masyarakat Toboali secara turun-temurun mempertahankan cara pembuatan terasi tradisional tanpa tambahan bahan kimia. Ia pun turut menjelaskan proses pembuatan terasi tradisional yang selama ini ia jalani.

Kualitas terasi diakuinya sangat bergantung pada kesegaran bahan baku, yakni udang kecil atau rebon yang baru ditangkap. Udang yang masih segar aromanya berbeda. Begitu pula dengan rasanya lebih gurih, tidak pahit, dan warnanya memang kemerahan. Oleh sebab itu, dirinya mengolah udang langsung sepulang dari melaut. Karena dirinya juga berprofesi sebagai nelayan udang sungkur.
“Mungkin yang ditemukan BPOM itu mungkin terasi dari luar yang dijual di sini,” jelas Rusyaden.
Proses pembuatan terasi dimulai dari mencuci udang segar, kemudian dijemur hingga kadar airnya berkurang. Setelah itu, udang ditumbuk dan dicampur garam halus yang berfungsi sebagai penambah rasa sekaligus pengawet alami. Adonan lalu difermentasi semalaman sebelum dijemur kembali. Tahap terakhir ditumbuk sampai halus, lalu kemudian dibentuk menjadi terasi seperti yang dijual di pasaran.
Ihwal terasi mengandung pewarna tekstil, Rusyaden menekankan bahwa warna terasi alami memang tidak selalu seragam. Warna terasi sangat dipengaruhi oleh jenis udang dan proses fermentasi yang dilakukan. Terasi asli Toboali tidak memiliki warna merah cerah menyala ataupun terlalu pucat. Warna tersebut justru patut dicurigai sebagai hasil tambahan pewarna buatan.

“Jadi tidak perlu pakai pewarna. Udang itu sendiri sudah memberi warna khas terasi,” ujar Rusyaden.
Rusyaden berharap masyarakat lebih teliti saat membeli terasi di pasaran. Ciri terasi alami bisa dilihat dari warna yang tidak mencolok dan aroma yang khas namun tetap alami. Dirinya meminta terasi dari pengrajin lokal tidak disamaratakan dengan produk luar. Mereka khawatir, isu tersebut akan memukul usaha kecil yang menggantungkan hidup pada produksi terasi rumahan.
“Untuk bisa membedakan terasi murni dan terasi yang diduga mengandung bahan tambahan hanya dengan pengamatan sederhana,” ucapnya. (Bangkapos.com/Cepi Marlianto)





















